Materi 11
Industrialisasi di Indonesia
11.4.Permasalahan Industrialisasi
Industri manufaktur di LDCs lebih terbelakang
dibandingkan di DCs, hal ini karena :
·
Keterbatasan teknologi.
·
Kualitas Sumber daya Manusia.
·
Keterbatasan dana pemerintah (selalu
difisit) dan sektor swasta.
·
Kerja sama antara pemerintah, industri
dan lembaga pendidikan & penelitian masih rendah.
Secara umum, industry manufaktur di Negara-negara
berkembang masih terbelakang jika dibandingkan dengan sector yang sama di
Negara maju, walaupun di Negara-negara berkembanga ada Negara-negara yang
industrinya sudah sangat maju.
Dalam kasus Indonesia, UNIDO (2000) dalam studinya
mengelompokkan masalah yang dihadapi industry manufaktur nasional ke dalam 2
kategori, yaitu kelemahan yang bersifat structural dan yang bersifat
organisasi.
Kelemahan-kelemahan structural di antaranya:
·
Basis ekspor dan pasarnya yang sempit
·
Empat produk, yakni kayu lapis, pakaian
jadi, tekstil dan alas kaki memiliki pangsa 50% dari nilai total manufaktur
·
Pasar tekstil dan pakaian jadi sangat
terbatas
·
Tiga Negara (US, Jepang dan Singapura),
menyerap 50% dari total ekspor manufaktur Indonesia, sementara US menyerap
hampir setengah total nilai ekspor tekstil dan pakaian jadi
·
Sepuluh produk menyumbang 80% seluruh
hasil ekspor manufaktur
·
Banyak produk manufaktur padat karya
yang terpilih sebagai produk unggulan Indonesia mengalami penurunan harga di
pasar dunia akibat persaingan ketat
·
Banyak produk manufaktur yang merupakan
ekspor tradisional Indonesia mengalami penurunan daya saing
·
Ketergantungan impor yang sangat tinggi
·
Tidak adanya industry berteknologi
menengah
·
Konsentrasi regional
Kelemahan-kelemahan organisasi, di antaranya:
·
Industry skala kecil dan menengah (IKM)
masih underdeveloped
·
Konsentrasi pasar
·
Lemahnya kapasitas untuk menyerap dan
mengembangkan teknologi
·
Lemahnya SDM
Permasalahan Industri indonesia
Indonesia adalah negara yang besar dengan jumlah
penduduk yang besar pula,hal ini bisa menjadi salah satu faktor pertumbuhan
industri di negara ini,tetapi berbagai isu- isu yang berkembang sebagai salah
satu dampak era globalisasi sangat berpengaruh terhadap iklim industri di
indonesia,kendala dan permasalahan yang terjadi itu antara lain adalah sebagai
berikut:
1. Konsentrasi Industri Secara Geografis
Industri Indonesia terkonsentrasi secara geografis
ke Kabarin (Kawasan Barat Indonesia),
yaitu Jawa dan Sumatra.
Pembangunan industri dan aktivitas bisnis Indonesia
selama lebih dari tiga dasawarsa terakhir
cenderung bias ke pulau Jawa dan Sumatra.
Industri manufaktur Indonesia cenderung terkonsentrasi
secara spasial di Jawa sejak tahun 1970-an (Aziz,
1994, Hill, 1990).
dengan kondisi ini,daerah-daerah lain seakan-akan
menjadi daerah yang di anak tirikan,padahal di indonesia memiliki 5 pulau besar
yang ke semuanya memiliki potensi untuk di jadikan sebagai kawasan industri.
Tidak meratanya pembangunan industri di indonesia
menyebabkan dampak sentralisasi yang juga akan menyebabkan kepadatan penduduk
di suatu daerah.
2.Tingginya impor di indonesia
Hampir semua industri Indonesia memiliki kandungan
impor (import content) bahan baku dan bahan setengah jadi
yang relatif tinggi. Import content industri
padat modal lebih tinggi daripada industri padat karya.
Tingginya kandungan impor bahan baku, bahan antara,
dan komponen untuk seluruh industri,
yang berkisar antara 28-30 persen antara tahun
1993-2002.
Inilah yang barangkali menjelaskan mengapa
melemahnya nilai rupiah terhadap dolar
tidak langsung menyebabkan kenaikan ekspor secara
signifikan.
Relatif tingginya kandungan impor bahan baku dan
penolong mencerminkan bahwa upaya peningkatan pendalaman industri masih
perlu digalakkan. Dengan kata lain, industri pendukung dan terkait, khususnya
industri komponen dan hulu, masih belum kokoh dalam menopang struktur
industri Indonesia.
Implikasinya, strategi substitusi impor untuk
industri andalan Indonesia agaknya perlu diprioritaskan.
Sebenarnya pihak pemerintah dalam hal ini sudah
melakukan berbagai macam cara,di antaranya yaitu dengan melaksanakan program
padat karya,ataupun berbagai program yang di lakukan oleh pemerintah,yaitu
dinas koperasi dan UKM.
berbagai macam cara ini tiada lain adalah untuk
meningkatkan daya saing produk dalan negeri.
semoga usaha yang di lakukan pihak pemerintah ini
dapat di imbangi oleh pelaku-pelaku industri,ga cuma hisapan jempol
belaka.amin....
3. Dualisme Industri
Dualisme industri Indonesia terus berlanjut:
Industri kecil mendominasi dari sisi unit usaha (99%) dan
penyerapan tenaga kerja (60%), namun menyumbang hanya 22% terhadap nilai
tambah. Sebaliknya industri besar dan menengah,yang jumlah unit usahanya hanya
kurang dari 1%, menyerap tenaga kerja 40% dan menyumbang nilai tambah
78%.Sementara itu, kontribusi UKM thd PDB sebesar 54-57%, sedang UB sekitar
42-46% selama tahun 2002-2005.
4.Belum Membaiknya Iklim Investasi
Iklim investasi di Indonesia masih memiliki banyak
kendala.
Selama 2003 hingga 2006, kendala terbesar bagi para
pelaku bisnis adalah ketidakstabilan kondisi ekonomi makro
dan ketidakpastian kebijakan ekonomi cenderung
menurun.
Artinya, pelaku bisnis melihat adanya perbaikan
lingkungan makro dan kebijakan ekonomi.
Namun, kendala lain yang cenderung memburuk adalah
infrastruktur (transportasi dan listrik),
tenaga kerja (regulasi ketenagakerjaan nasional
maupun daerah, keterampilan dan pendidikan pekerja).
Kendala yang cenderung membaik di mata pelaku bisnis
adalah kebijakan perdagangan dan bea cukai,
akses terhadap modal, keamanan, perizinan baik
nasional maupun lokal, biaya modal,
tarif dan administrasi pajak, konflik dan
sistem hukum, dan korupsi pada skala lokal maupun nasional.
5.Ekonomi Biaya Tinggi
Berbagai pungutan, baik resmi maupun liar,
yang harus dibayar perusahaan kepada para petugas,
pejabat, dan preman masih berlanjut.
Berdasarkan survei di Batam, Jabotabek,
Bandung-Cimahi, Jepara-Pati, Surabaya-Sidoarjo,
Denpasar, Kuncoro et al. (2004) menunjukkan masih
adanya uang pelicin (grease money) dalam bentuk pungli,upeti dan biaya ekstra
yang harus dikeluarkan oleh perusahaan dari sejak mencari bahan baku,
memproses input menjadi output, maupun melakukan
ekspor.
Lebih dari separuh responden berpendapat bahwa
pungli, perijinan oleh pemerintah pusat dan daerah,
kenaikan tarif (BBM, listrik, dll.)
merupakan kendala utama yang dihadapi para
pengusaha, terutama yang berorientasi ekspor.
Rata-rata persentase pungli terhadap biaya
ekspor setahun adalah 7,5%,yang setara dengan total Rp 3 trilyun atau sekitar
$153 juta (Kuncoro, 2006).Lokasi yang dituding rawan terhadap pungli terutama
jalan raya dan pelabuhan.Dengan dalih untuk meningkatkan pendapatan daerah
(PAD), pemerintah daerah menerapkan beberapa pungutan,
pajak, sumbangan sukarela dan pembatasan-pembatasan yang ditujukan kepada
investor dan kegiatan bisnis. Usaha tersebut ternyata mengakibatkan
distorsi perdagangan dan tidak sesuai dengan UU No. 34/2000.Situasi saat ini
menyebabkan lebih banyak kekhawatiran, khususnya di kalangan investor domestik
dan asing, Pemerintah Daerah bersikeras akan hak atas kepemilikan saham
pelabuhan dan pajak dari perusahaan asing yang beroperasi di daerah mereka,
khususnya perusahaan-perusahaan pertambangan. Fanatisme sektoral mulai
bergeser menjadi fanatisme daerah yang overdosis.
jika hal ini tidak di
atasi dan bahkan membudaya,maka bukan tidak mungkin bahwa investor akan melirik
negara lain untuk berinvestasi,seperti thailand dan filipina,bahkan malaysia.
Sumber:
Ø http://perekonomianindonesia-akuntansi.blogspot.com/2011/04/industrialisasi.html
Ø http://rahmadhidayat123.blogspot.com/2015/04/perkembangan-sektor-industri-manufaktur.html
Ø https://rismaeka.wordpress.com/2011/03/28/industrialisasi/
Ø http://duniateknikindustri.blogspot.com/2012/01/permasalahan-industri-di-indonesia.html







Posting Komentar